25 November 2022 / Asia
Pasola
Padang savana menawan hati. Membius indera penglihat. Kuda-kuda Sandalwood meringkik dan berjalan berputar di antara rerumputan liar di padang. Nyiurpun melambai-lambai seakan menari bersama debur ombak di pasir putih. Sungguh suatu pemandangan yang sangat indah. Itulah Pulau Sumba. Sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pulau yang penuh dengan animisme dan dinamisme. Kehidupan masyarakatnya diwarnai dengan pergerakan menuju ke arah modernitas hidup tetapi masih memegang teguh budaya, tradisi dan adat istiadatnya. Kehidupan masyarakatnya mengalami suatu asimilasi budaya yang patut untuk digali dan dipelajari. Dari semua tradisi yang ada di Pulau Sumba, salah satu yang sangat terkenal bahkan sampai ke belahan dunia lainnya adalah Pasola. Sehingga Pulau Sumba juga dikenal dengan sebutan "Tanah Pasola". Setiap tahun banyak turis yang datang ke Pulau Sumba, baik itu domestik maupun mancanegara hanya untuk menyaksikan upacara Pasola.
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Kata Pasola mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), sehingga artinya menjadi permainan. Jadi Pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola bisa juga diartikan sebagai suatu atraksi perang yang dilakukan oleh dua kelompok dengan menggunakan kuda sebagai simbol perang tanding yang mengacu pada tradisi dan agama. Perang tanding pasola saat ini menggunakan tombak kayu bermata tumpul. Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisonal yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat Sumba). Permainan Pasola diadakan pada empat kampung di Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Pelaksanaan Pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya.
Pasola
Sejarah
Pasola tidak hadir begitu saja. Menurut legenda rakyat Sumba, Pasola berawal dari cerita cinta segitiga seorang janda cantik bernama Rabu Kabba di Kampung Waiwuang. Rabu Kabba mempunyai seorang suami yang bernama Ubu Dulla, salah satu pemimpin di kampung Waiwuang. Selain Ubu Dulla, ada dua orang pemimpin lainnya yang bernama Ngongo Tau Matutu dan Yagi Waikareri. Mereka bertiga adalah saudara. Pada suatu ketika, ketiga pemimpin ini memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka akan melaut. Tetapi tanpa sepengetahuan isteri mereka dan warga, mereka pergi ke selatan pantai Sumba Barat dan berlayar hingga ke Muhu Karera. Hari demi hari berganti tetapi ketiganya tak kunjung pulang. Para isteri dan warga menanti tiga orang pemimpin tersebut dalam waktu yang lama dan membuat mereka cemas. Pada akhirnya warga mengira ketiga pemimpin mereka telah meninggal dunia, sehingga warga pun mengadakan acara perkabungan. Rabu Kabba dilanda kesedihan yang mendalam. Dia menolak untuk mempercayai bahwa suaminya, Ubu Dulla telah meninggal dunia. Setiap ada kesempatan Rabu Kabba selalu pergi ke pantai dan berharap perahu yang membawa suaminya kembali.
Pada suatu ketika Rabu Kabba melihat sebuah perahu. Ia merasa senang sekali dan berharap itu adalah suaminya. Tetapi yang datang adalah seorang pemuda bernama Teda Gaiparona yang berasal dari Kampung Kodi. Distulah awal perjumpaan mereka yang menghasilkan sebuah persahabatan. Lama kelamaan persahabatan itu berubah menjadi rasa cinta diantara muda-mudi tersebut. Mereka telibat hubungan asmara. Namun karena adat yang sulit dan sangat ketat, keluarga dari Rabu Kabba dan Teda Gaiparona tidak menyetujui perkawinan mereka. Sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk kawin lari. Teda Gaiparona membawa janda tersebut ke kampung halamannya. Beberapa waktu berselang, ketiga pemimpin warga Waiwuang (Ubu Dulla, Ngongo Tau Matutu dan Yagi Waikareri ) yang sebelumnya telah dianggap meninggal, muncul kembali di kampung halamannya. Warga menyambut gembira kedatangan mereka. Namun di pihak lain Ubu Dulla merasa sangat sedih mengetahui bahawa isterinya telah pergi dengan laki-laki lain. Ubu Dulla akhirnya memutuskan untuk mencari isterinya yang telah dibawa oleh Teda Gaiparona. Dengan alasan untuk menegakkan kehormatan, maka Ubu Dulla bersama sejumlah warga pergi mencari Rabu Kabba. Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang, Rabu Kaba yang telah jatuh cinta dengan Teda Gaiparona tidak ingin kembali. Ia merasa telah ternoda. Ubu Dulla yang masih mencintai isterinya merasa sangat sedih. Alih-alih membalas dendam, Ubu Dulla malah meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis (Mahar nikah orang Sumba yang merupakan nilai penghargaan pihak pengambil isteri kepada calon isterinya, seperti pemberian kuda, sapi, kerbau, perhiasan dan barang-barang berharga lainnya) yang diterima dari keluarga laki-laki. Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis pengganti. Belis yang dibayar adalah simbol penghormatan akan kebesaran jiwa Ubu Dulla.
Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan antara Rabu Kabba dengan Teda Gaiparona. Keluarga Teda Gaiparona juga memberikan sebungkus nyale hidup pada akhir pesta pernikahan. Nyale adalah cacing laut berwarna-warni yang kemunculannya merupakan pertanda kemakmuran. Penyerahan nyale merupakan simbol akan kemakmuran yang dicari oleh Ubu Dulla hingga ke Muhu Mera tetapi pada akhirnya ia harus rela kehilangan isteri yang sangat dicintainya. Kedua keluarga akhirnya bersepakat untuk selalu menyelenggarakan Pasola yang didekasikan untuk mengenang kejadian tersebut. Pasola menjadi pengingat bahwa telah terjadi suatu persitiwa yang jika tidak diselesaikan dengan arif dan bijaksana, mungkin pada saat itu akan menjadi pemicu perang antara dua keluarga besar, yang pastinya akan memakan korban dan pertumpahan darah. Darah yang tumpah pada saat Pasola, bukanlah darah yang sia-sia. Setiap tetes darah yang tumpah dipercayai sebagai penyumbang kesuburan bumi.
Proses Upacara
Acara Pasola diawali dengan pelaksanaan serangkaian ritual. Karena Pasola ini diadakan di empat tempat yang berbeda, maka ada beberapa ritual yang dilaksanakan di setiap tempat. Lain lokasi maka lain pula ritualnya. Salah satu tempat pelaksanaan Pasola yang terbesar dan terkenal adalah di wilayah Wanokaka. Di bawah ini adalah rangakaian ritual dari wilayah Wanokaka.
1. Purung Laro Loda
Purung Laro Loda berarti penurunan tali larangan. Rato-rato di kampung panganggung jawab Pasola yaitu Waigalli, Ubu Bewi, Lahi Pangabang, Laigoli dan Puli pada awalnya akan menurunkan tali larangan sebagai pertanda dimulainya Wulla Biha atau bulan pamali. Larangan ini harus dipatuhi oleh seluruh masyrakat.
2. Penentuan Waktu
Acara Pasola dilaksanakan bertepatan dengan munculnya purnama raya. Dasar utama perhitungan ini adalah bentuk bulan, yang didukung oleh kemunculan tanda-tanda alam seperti mekarnya bunga Katina, pembuatan sarang oleh babi hutan, pasang surut air laut dan beberapa tanda alam lainnya. Karena terkait dengan munculnya nyale sebagai indikator hasil panen yang terjadi setahun sekali, maka penentuan waktu menjadi hal yang sangat penting. Para Rato sangat berhati-hati di dalam membaca tanda-tanda alam. Karena jika mereka salah menentukkan tanggal, maka nyale tidak akan muncul pada waktunya. Hal ini dianggap sebagai suatu kesialan.
3. Pati Rahi
Adalah konsep empat hari menjelang puncak perayaan yang diisi oleh ritual-ritual penting. Pada hari pertama Para Rato dari Kampung Waigalli yang dalam ritual ini berperan sebagai Kabisu Ina- Ama mengadakan perkunjungan ke Waiwuang, Praigoli dan Lahi Majeri. Tujuannya adalah untuk melihat persiapan-persiapan yang telah dilakukan menjelang hari H. Pada hari kedua, Patujil (pertandingan tinju tradisonal) diselenggarakan di Pantai Teitena. Menurut cerita rakyat, pantai tersebut adalah pantai dimana Ubu Dulla dan saudaranya terdampar. Hari ketiga adalah hari yang penuh dengan kegiatan ritual, dimana ritual ini diadakan hingga mencapai atraksi puncak pada hari keempat. Hari ketiga dimulai dengan Palaingu Jara yang berarti melarikan kuda. Ini adalah ajang pemanasan untuk kuda-kuda dan para pemuda yang dianggap sebagai ksatria yang akan berlaga di keesokan harinya. Pada malam ketiga, semua Rato yang bertugas untuk acara Pasola akan berkumpul di Ubu Bewi untuk melakukan serangkaian ritual dan pemujaan. Ritual yang diadakan antara lain Kajalla. Kajalla adalah ritual pertanggungjawaban yang berupa tanya jawab oleh semua Kabisu yang mengambil bagian dalam perayaan Pasola. Ritual selanjutnya adalah penyembelihan sejumlah ayam. Bertujuan untuk meramalkan kejadian apa saja yang bakal terjadi pada waktu Pasola diselenggarakan. Kemudian pada malam ini juga sekali lagi para Rato akan mengamati bulan, yang biasanya pada malam ini muncul dengan sempurna, sebagai suatu pertanda datangnya nyale dan Pasola. Puncak acara hari ketiga biasanya berakhir sekitar jam 3 dini hari. Ditandai dengan penabuhan tambur suci dan nga'a katupat (makan ketupat).
4. Madidi Nyale
Ritual Madidi nyale adalah ritual sambungan dari Pati rahi yang merupakan puncak hari keempat. Ritual ini adalah ritual mecari nyale. Madidi nyale dimulai saat hari masih sangat pagi. Sebelum fajar menyingsing para Rato yang telah melakukan pertemuan dan upacara di Ubu Bewi beriringan menuju ke pantai untuk memimpin acara madidi nyale. Pencarian nyale ini diadakan di Pantai Wanokaka. Uniknya, ritual madidi nyale tidak hanya dilakukan oleh para Rato tetapi juga masyarakat setempat dan para wistawan baik itu lokal maupun asing. Pencarian caing laut berwarna-warni ini menjadi suatu kegiatan yang sangat menyenangkan bagi semua orang yang datang ke Pulau Sumba untuk menyaksikan Pasola. Nyale yang didapat oleh masyarakat setempat biasanya dijadikan berbagai macam kudapan. Ada beberapa tasfiran mengenai nyale yang didapat di pantai. Jika nyale yang didapat banyak dan bersih, maka dianggap sebagai pembawa keberuntungan yaitu hasil panen yang banyak dan melimpah nantinya. Sedangkan jika nyalenya kotor dan saling menggigit, itu adalah pertanda buruk seperti akan adanya hama tikus. Lain lagi jika nyalenya busuk, itu berarti akan ada hujan yang berlebihan sehingga mengakibatkan padi membusuk. Selain itu, jika nyale yang didapati dalam keadaan mati maka itu adalah pertanda akan kemarau yang panjang sehingga bisa mengakibatkan musibah kelaparan.
Anak-anak Sumba mencari nyale
Nyale (cacing laut berwarna-warni)
5. Pasola
Puncak semua acara adalah Pasola. Pasola di Wanokaka diadakan di dua tempat yang berbeda. Yang pertama adalah di Pantai Wanokaka setelah perayaan madidi nyale dan yang kedua adalah di lapangan atau arena Kamaradena dimulai dari pukul 9 pagi hingga selesai. Pertandingan lempar tombak antara dua kubu ini banyak diminati oleh pemuda setempat sehingga pesertanya tidak dibatasi. Setiap kubu mempunyai tak-tik tersendiri untuk menjatuhkan lawannya. Yang unik dari pertandingan Pasola adalah para penunggang kudanya menggunakan pakaian tradisional orang Sumba. Pakaian yang dimaksud bukanlah pakaian adat lengkap tetapi tetap menggunakan pakaian sehari-hari yang telah dihiasi. Para ksatria menggunakan selembar kain tenun yang diikat sebagai celana, menggunakan ikatan kepala khas orang Sumba dan tanpa alas kaki. Tak lupa pula parang sumba yang menjadi kebanggan mereka diselipkan di pinggang. Kuda-kuda yang diikutsertakan adalah kuda-kuda terbaik yang telah dihias sedemikian rupa sehingga tampak berwarna-warni di tengah-tengah arena Pasola. Para ksatria dengan semangat memacu kudanya dan melemparkan tombak ke arah lawan disertai dengan suara-suara pekikan. Para penonton pun menambah kehebohan perang tanding tersebut dengan teriakan-terikan khas orang Sumba dan tepukan tangan yang riuh. Dalam pertandingan ini biasanya ada yang terluka bahkan kadang ada juga yang meninggal. Akan tetapi ada aturan tertulis bahwa dendam tidak boleh dibawa keluar dari dalam arena. Pembalasan dendam diperbolehkan tetapi mereka harus menunggu hingga Pasola berikutnya. Sportivitas sangat dijunjung tinggi dalam acara Pasola.
Para Rato Sumba yang berjalan ke pantai untuk membuka acara Pasola
Rato Sumba
Para Rato berkumpul untuk melakukan ritual adat sebelum pembukaan acara pasola
Tips dan Saran
Pasola bukanlah acara yang waktunya sudah pasti. Karena para Rato harus melakukan serangkaian ritual dan pemujaan serta membaca tanda-tanda alam, maka waktu penyelenggaraan Pasola sangat fleksibel. Semuanya tergantung alam dan para Rato. Oleh karena itu, jika Anda ingin menonton acara Pasola, hendaknya Anda melakukan kontak dengan warga setempat untuk menanyakan kapan waktu yang tepat pelaksanaan acara Pasola. Ada baiknya jika Anda pergi ke Sumba dan tinggal sejenak sebelum Pasola dimulai. Hal ini juga bisa menjadi bentuk sosialisai Anda dengan warga setempat.
Jika Anda ingin mengikuti seluruh ritual acara dari pertama hingga akhir, alangkah baiknya jika Anda menginap di rumah salah seorang warga yang masih ada hubungannya dengan para Rato, sehingga akses untuk mengikuti ritual lebih mudah. Ritual madidi nyale bisa diikuti oleh siapa saja tanpa mengenal golongan. Karena acara ini dimulai sebelum fajar, sebaiknya Anda mempersiapkan diri dengan tidur yang cukup sehingga Anda bisa bangun tepat waktu dan mengikuti ritual sampai dengan puncak acara.
Bagi para pecinta fotografi, satu hal yang harus dipersiapkan adalah pelindung kamera dari panas. Teriknya matahari di tengah arena biasanya membuat kamera mengalami auto shutdown. Selain itu, pemilihan tempat yang baik untuk mengambil foto sangat diperlukan. Dikarenakan tombak yang dilempar kadang mengarah ke arah penonton dan hal ini sangat berbahaya jika mengenai kamera atau tubuh kita. Carilah tempat yang strategis yang tidak terlalu banyak kerumunun orang di depannya sehingga tidak menutupi arah pandang dan pengambilan foto. Berdiri atau duduk terlalu dekat dengan para penunggang kuda juga bukan pilihan yang baik karena kuda yang ditunggangi kadang bisa lepas dari kontrolan dan lari ke arah penonton.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah persiapan bekal selama Pasola berlangsung, berupa air dan makanan ringan. Karena pada waktu Pasola berlangsung, di daerah tersebut biasanya sulit untuk mencari tempat yang menjual makanan dan minuman. Kebanyakan tempat jualan ditutup karena masyarakat setempat ikut menonton acara pasola. Bukan hanya itu saja, hal lain yang sedikit menggangu adalah ketika Anda meninggalkan arena Pasola, maka untuk kembali ke tempat semula sangat kecil kesempatannya. Kerumunan orang yang berdesak-desakkan di arena akan menutupi jalan Anda dan juga tempat Anda semula biasanya sudah ditempati oleh orang lain. Selama acara berlangsung biasanya orang-orang akan makan dan minum di sekitar arena sehingga sampah akan berserakan dimana-mana. Alangkah baiknya jika kita menunjukkan contoh untuk membuang sampah pada tempatnya. Dengan begitu, kita ikut menjaga kebersihan dan keindahan tempat tersebut khususnya daerah pantai yang menjadi objek wisata.
Pada akhir acara Pasola, ada kebiasaan masyarakat setempat yaitu makan bersama. Pemilik rumah tertentu dan yang masih ada kekerabatan dengan para Rato dan penunggang kuda Pasola yang berada di daerah sekitar arena Pasola, biasanya membuka pintu rumah mereka untuk mempersilahkan kerabat dan para tamu makan di rumahnya. Keramahtamahan ini juga bisa dinikmati dan dirasakan oleh para wistawan baik lokal maupun mancanegara. Jadi jangan heran jika Anda ditawari makan bersama oleh penduduk setempat. Terimalah hal itu sebagai tanda penghormatan kepada mereka. Sungguh suatu bentuk keharmonisan hidup yang indah di Pulau Sumba.
Pasola yang diselenggarakan sampai sekarang ini bukanlah suatu ajang tanding yang bersifat untuk mengumpulkan massa dan mencari kesenangan semata. Melainkan suatu bentuk pola adat ritual atau kultus religi masyarakat Sumba khususnya Sumba Barat dan pengamalan aklamasi terhadap roh-roh leluhur. Pasola telah mendarah daging dan menjadi ciri khas orang-orang Sumba Barat. Mengacu kepada legenda Pasola, maka tradisi ini adalah suatu bukti nyata adanya pengambilan keputusan secara bijaksana di dalam menyelesaikan sebuah persoalan hidup, untuk menghindari terjadinya konflik yang lebih besar. Pasola mengajarkan kita untuk berani menerima kekalahan dengan besar hati dan membentuk sifat sportif di dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, Pasola juga menjadi sebuah jembatan untuk menjalin persaudaraan dan kekerabatan di dalam kehidupan bermasyarakat.